Oleh, Lilatul Fitria
Seorang
anak mengikuti aksi menentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan
|
REPUBLIKA.CO.ID
JAKARTA -- Melihat maraknya kasus kekerasan seksual akibat pornografi yang terjadi,
Elly Risman, psikolog yang juga pendiri yayasan Kita dan Buah Hati menuntut
pemerintah untuk segera bertindak. Ia berharap agar presiden Joko Widodo
memulai revolusi mental dari sini, dari bencana kekinian yang dihadapi anak
sebagai dampak negatif teknologi media. “Pemerintah, presiden dan wakil
presiden harus mendorong Departemen Kesehatan (Depkes) untuk melakukan
penelitian bahwa pornografi itu merusak otak,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan
telepon, Selasa (9/2). Jika benar-benar terbukti bahwa pornografi merusak otak,
kata Elly Risman, maka depkes harus mengakui bahwa pornografi adalah penyakit.
Dengan begitu konsekuensi yang harus dilakukan adalah semua kejahatan seksual
baik suka sama suka maupun tidak, membutuhkan terapi. Lulusan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia ini mencontohkan kasus kekerasan seksual yang
dilakukan Emon kepada puluhan anak- anak. Semuanya harus diterapi termasuk para
korban juga keluarga korban. Namun sayangnya Indonesia tidak memiliki rumah
sakit yang menangani pornografi dan kasus seksual seperti menangani kasus
narkoba. “Indonesia tidak punya terapis khusus untuk menangani kasus kekerasan
seks pada anak-anak, lalu kalau anak itu diterapi dimana tempatnya, tenaga
terapinya darimana, biayanya darimana, ya dari BPJS lahh,” keluhnya. Padahal,
menurutnya, kasus ini terjadi begitu banyak, anak anak tersebut akan terus
melakukan aktivitas seksual, dan pada usia remaja akan terpapar HIV.
“Pemerintah tidak punya uang untuk menangani HIV pada anak yang bertabur di 9000
pulau. Berarti depkes harus menyiapkan tenaga terapis,” ucapnya.
Selain
itu, ia juga menuntut agar Departemen Pendidikan dan Menkumham untuk mengambil
tindakan. Kekerasan seksual banyak dilakukan oleh pengajar, tetapi Elly menilai
bahwa Diknas belum melakukan apapun terhadap masalah tersebut. Sementara
penegakan hukum oleh Menkumham juga dirasa kurang. “Menhukham harus menerapkan
UU, atau memperkuat pemberlakuan UU pornografi,” jelasnya. Belakangan,
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa dengan tegas menyatakan bahwa saat ini
Indonesia dalam kondisi darurat pornografi karena biaya untuk belanja
pornografi yang diperkirakan mencapai Rp 50 triliun sepanjang tahun 2014. Angka
itu bahkan disamakan dengan total belanja narkoba.[1]
Ø Undang-Undang
Pornografi
(sebelumnya saat masih berbentuk rancangan
bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU
APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah
suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi
undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU
ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat
akan membawa UU ini ke Mahkamah
Konstitusi.
Gubernur Bali Made
Mangku Pastika
bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan
menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah
untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat
paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia.
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan
pemberlakuan UU Pornografi.[2]
Analisis
kasus
A.
Perubahan
Sosial
Banyaknya kasus
pornografi menimbulkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat terutama bagi para
orang tua yang anaknya mulai menginjak usia remaja, yang dimana mereka telah
mulai mengenal dunia luar dengan mudahnya hanya dengan sekali akses lewat
internet. Dalam kasus ini, memberi dampak yang sangat nyata bagi masyarakat.
Yang mana pola perilaku masyarakat perlahan namun pasti telah mengalami
perubahan sosial, generasi muda pada saat ini memiliki banyak cara untuk
menuntaskan rasa ingin tahunya, mereka cenderung menggunakan metode coba-coba.
Jika kurang berhati-hati, penggunaan metode ini sangat merugikan, karena yang
di coba belum tentu sesuatu yang baik.
Hal ini juga terjadi pada saat budaya barat
masuk kedalam kehidupan remaja. Sebagai sesuatu yang asing dan baru, budaya ini
menarik perhatian mereka. Sebagai contoh, ketika berkembang system belajar yang
menyenangkan atau disebut Quantum Learning, remaja cenderung mencoba hal
tersebut. Namun hal ini tidak terbatas hanya pada budaya yang bersifat positif,
tapi juga pada budaya negatif. Misalnya, ketika berkembang budaya “clubbing” di
kota-kota besar, sebagian besar remaja marasa tertarik untuk mencoba, sehingga
ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan itu terus dilakukan. Tentu saja
hal ini tidak terlepas dari peran keluarga dalam membimbing remaja dalam
menjalani masa yang sangat sulit ini. peran keluarga ini akan dijelaskan pada
subbab selanjutnya.[3]
Berdasarkan contoh diatas telah tampak
jelas bahwa, perubahan sosial bisa terjadi karena adanya dua faktor, yaitu:
a)
Faktor
Internal : Penemuan Baru,
b)
Faktor
Eksternal : Pengaruh Budaya Lain.
B. Perubahan
Hukum
Banyak terjadi
pro dan kontra mengenai undang-undang ponografi, seperti yang sudah terjabarkan
di atas tidak sedikit pihak yang kontra terhadap undang-undang pornografi ini. Salah
satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai
sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit
sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat
diterima semua pihak. Dalam kebijakan hukum pidana, sebenarnya setiap perumusan
dalam undang-undang tidak ada kewajiban untuk selalu membuat atau
mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut.
Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi. Contohnya saja pada bab II
pasal 6, dan pasal 8, terdapat kata-kata yang bermakna ambigu.
Jadi mendefinisikan atau tidak
mendefinisikan adalah pilihan politik dari pembuat undang-undang. Apabila sulit
didefinisikan atau setelah didefinisikan justru menimbulkan polemik dan
multitafsir, mungkin lebih baik jangan didefinisikan. Namun orang akan
bertanya, bagaimana mungkin akan mengatur sesuatu, tetapi tidak ada kejelasan
tentang apa yang diatur. Sebenarnya, apabila mengalami kesulitan dalam
mendefinisikan pornografi, maka lebih baik jangan didefinisikan, tetapi cukup
dengan mengatur secara eksplisit bentuk-bentuk perbuatan pornografi dalam
pasal-pasal ketentuan pidananya.. Karena pasal-pasal pidana inilah yang lebih
bersifat fungsional dan mengandung unsur-unsur tindak pidana yang digunakan
untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana pornografi atau
tidak. Sementara pemberian definisi pornografi dalam ketentuan umum hanya
bersifat memberikan penjelasan. Hal inilah yang dilakukan oleh pembuat UU
Tindak pidana korupsi, dimana tidak mendefinisikan korupsi, namun langsung
mengaturnya dalam rumusan pasal ketentuan pidana.
C. Paradigma
yang Terkandung
Berdasarkan uraian diatas maka, paradigma yang
terkandung adalah paradigma hukum sebagai alat untuk penegak yang dimana, hukum
bukan sebagai pelayan masyarakat agar tidak ketinggalan laju perubahan
masyarakat. Ini merupakan paradigma yang kedua karena, pemerintah atas
inisiatif sendiri untuk membuat Rancangan Undang-Undang hingga menjadi
Undang-undang Pornografi. Yang mana pemerintah berusaha melihat segala
kemungkinan kedepannya baik dari aspek positif maupun negative. Sengga disusunlah
Undang-undang ini untuk masa depan.
[1]
Psikolog:
Efek Pornografi, Kasus Kekerasan Seksual Meningkat, Nasional, http://www.umm.ac.id/id/nasional-umm-5180-psikolog-efek-pornografi-kasus-kekerasan-seksual-meningkat.html
[2]
Undang-undang Pornografi, Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.m.wikipedia.org/wiki/RUU_APP
[3]
Cara Mengatasi Pornoaksi, Pornografi, dan Pengaruh Budaya Asing, https://bisnisbook.wordpress.com/2011/01/02/cara-mengatasi-pornoaksi-pornografi-dan-pengaruh-budaya-asing/