Selasa, 06 Oktober 2015

Tugas Sosiologi Hukum (Analisis Kasus Hukum antara Lower Class dengan Higher Class)


Oleh: Lailatul Fitria, (06 Oktober 2015)


Pencuri Pisang dipenjara Koruptor dibebaskan
Kondisi serba paradoksal di dalam lembaga penegakan hukum sedang menjadi gugatan publik negeri ini. Banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan yang seharusnya diposisikan secara netral, dimana setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.  Namun, keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah (lower class), perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi bahkan menjadi santapan setiap hari. Sedangkan bagi masyarakat kalangan atas (higher class) atau dalam kejahatan kerah putih (the white collar crime) seperti korupsi dan suap-menyuap, atau pokoknya semua orang yang mempunyai kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
diskriminasi hukum warga miskin di Bojonegoro, pasangan suami-isteri Supriyono dan Sulastri ini. Dimana mereka disidang di pengadilan dengan tanpa memiliki dasar hukum yang kuat dan terancam mendapatkan hukuman tujuh (7) tahun penjara. Keduanya pun juga harus hidup terpisah di dalam LP Bojonegoro selama lebih dari tiga bulan. Supriyono dan Sulastri mendekam di tahanan karena dituduh mencuri setandan pisang, senilai Rp. 15.000,00. Keduanya dilaporkan Maskun  selaku pemilik pisang, serta Bambang dan Muis ke polisi. Akibat laporan itu, keduanya pun diproses secara hukum lewat pengadilan. Saat keduanya menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bojonegoro, pada tanggal 19 Januari 2010. Terdakwa yang tergolong tidak mampu ini pun didampingi enam penasehat hukum. Mereka prihatin, karena pasangan suami-istri itu dituduh tanpa punya bukti yang kuat. Seperti saat jaksa menghadirkan ketiga saksi, Maskun, Bambang dan Muis, di ruang sidang. Ketiganya tidak bisa menjawab pertanyaan penasehat hukum, sehingga sempat mendapat cemoohan pengunjung. Proses hukum atas kasus ini pun terasa janggal. Meski tidak ada bukti Supriyono-Sulastri telah mencuri setandan pisang, polisi dan jaksa tetap memproses kasus ini. Kasus ini pun sudah didamaikan di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan desa yang disaksikan pihak kepolisian. Namun pasangan suami istri ini tetap dimeja-hijaukan.[1]


Kasus Gayus Tambunan
Begitu banyak kasus penyalah gunaan jabatan serta kasus pencucian uang, yang secara umum disebut dengan korupsi terjadi di Indonesia. Korupsi tidak mengenal jabatan, baik karyawan biasa hingga pejabat tinggi negara bisa saja melakukan tindak kejahatan korupsi, korupsi juga tidak mengenal instansi, korupsi dapat terjadi di instansi manapun baik instansi negeri atau pemerintah maupun swasta. Kasus korupsi yang diketahui dilakukan oleh Pegawai Golongan III-A Kementrian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan.
3.1 Dugaan yang dituduhkan kepada Gayus
1)  Mengenai perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal dengan total Rp 570.952.000,-
2) Gayus terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000,- dari Roberto Santonius, konsultan pajak terkait dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
3)  Pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit box Bank Mandiri cabang Kelapa Gading serta beberapa rekening lainnya.
4) Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, serta kepala Rutan Iwan Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
5)  Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar Rp 24.600.000.000 didalam rekening tabungannya.
3.2 Potensi kerugian yang ditanggung oleh Negara
Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy dengan potensi kerugian sebesar Rp 339 Milyar.
3.3 Pasal serta jeratan hukum yang menjerat kasus Gayus Tambunan
1) Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dimana Gayus Tambunan diduga memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000 ,-, terkait penanganan keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
2) Pasal 5 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, dimana Gayus Tambunan dituding melakukan penyuapan sebesar $ 760.000 terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani.
3)  Pasal 6 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi karena Gayus diketahui memberikan uang sebesar US $ 40.000 kepada Hakim Muhtadi Asnus, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.
4)  Pasal 22 No.31 Tahun 1999 mengenai Undang – undang tidak pidana korupsi, dimana gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
3.4 Kronologi kasus gayus
Pada tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD). Dalam surat tersebut tersangka Gayus diduga melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan dengan diketahuinya rekening sejumlah Rp 25 Milyar pada Bank Panin cabang Jakarta milik Andi Kosasih pengusaha asal Batam yang menggunakan jasa pihak kedua untuk melakukan penggandaan tanah, yang setelah ditelusuri ternyata berkas tersebut belum lengkap.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 12 Maret, Gayus hanya dituntut satu tahun percobaan dan divonis bebas. Pada tanggal 24 Maret 2010, Gayus bersama 10 rekannya meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Tanggal 30 Maret 2010, polisi berhasil mengetahui keberadaan Gayus di Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, tim penyedik memeriksa tiga orang lainnya selain Gayus Tambunan termasuk Bridgen Edmond Ilyas. Pada tanggal 7 April 2010, anggota III DPR mengetahui keterlibatan seorang Jenderal Bintang Tiga yang ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak dengan aliran dana sebesar Rp 24 Milyar.
3.5 Keputusan sidang akhir kasus Gayus Tambunan
Keputusan sidang akhir terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta adalah hukuman sebesar 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300.000.000 ,- dengan ketentuan apabila denda tidak dapat dibayarkan maka akan ada penggantian berupa pidana kurungan selama 3 bulan.

PERBANDINGAN KASUS HUKUM
No.
Keterangan
Lower Class (Kelas Bawah)
Higher Class (Kelas Atas)
1.
Jenis Kasus
Kasus pencurian pisang. Kasus ini tergolong kasus pidana, karena dalam kasus ini ada pihak yang dirugikan.
Pada kasus ini saya membahas mengenai pelanggaran hukum dalam bidang ekonomi, yaitu kasus korupsi dimana kasus ini merupakan kasus pidana.
2.
Nama & jumlah korban
pasangan suami-isteri Supriyono dan Sulastri, telah mencuri setandan pisang milik Maskun (korban).
Gayus Tambuna yang merupakan Pegawai Golongan III-A Kementrian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak ini telah melakukan tindak pidana, dimana negaranya sendiri yang telah menjadi korban dari kerakusanya.
3.
Jumlah kerugin
Materil
Immaterial
Dalam kasus ini, korban mengalami kerugian senilai Rp. 15000,00.
1 korban (Maskun)
Materil
Immaterial
Dalam kasus ini, Gayus telas merugikn Nagara sebesar Rp. 570.952.000 ,-,
Korban dari kasus  ini adalah Negara
4.
Perlakuan Aparat
Pasangan suami-istri ini mendapat perlakuan yang tidak wajar, karena pasangan suami-istri itu dituduh tanpa punya bukti yang kuat. Seperti saat jaksa menghadirkan ketiga saksi, Maskun, Bambang dan Muis, di ruang sidang. Ketiganya tidak bisa menjawab pertanyaan penasehat hukum, sehingga sempat mendapat cemoohan pengunjung. Proses hukum atas kasus ini pun terasa janggal. Meski tidak ada bukti Supriyono-Sulastri telah mencuri setandan pisang, polisi dan jaksa tetap memproses kasus ini. Kasus ini pun sudah didamaikan di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan desa yang disaksikan pihak kepolisian. Namun pasangan suami istri ini tetap dimeja-hijaukan. Disini tergambar jelas perbedaan antara Orang kecil dan si kaya, dimana pasangan suami istri Supriyono dan Sulastri (si miskin) ini, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan terancam dijebloskan ke penjara selama 7 tahun.
Perlakuan hukum yang berbanding balik antara si kaya dan si mikin, dimana si kaya sering kali diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun.[2] Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen. Dan yang kita lihat di sekitar kita, bagaimana yang terjadi dengan para the white collar crime yang tak pernah pernah diadili sampai selesai dan adapun jika ternyata dihukum akan mendapatkan hukuman yang ringan.
5.
Fasilitas yang diperoleh tersangka selama proses hukum berlangsung
Selama proses hukum berjalan pasangan suami istri mendapat perlakuan yang sama dengan narapidana yang lainya, tidak ada pengistimewaan untuk keduannya.
Sedangkan untuk para the white collar crime, yang seharusnya mendapt hukuman yang berat justru dapat memesan sel atau ruang tahanan terbagus dan dapat keluar masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) semaunya sendiri.

Analisis Kasus
            Dari kedua kasus diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa, pelapisan masyarakat sengatlah mempengaruhi perlakuan hukum terhadap masyarakat itu sendiri. Dimana dari kedua kasus diatas, Kekayaan, Kehormatan dan Jabatan telah dijadikan ukuran pelapisan sosial, sehingga itu sangat mempengaruhi perlakuan aparat hukum dalam memperlakukan tersangka selama proses hukum berjalan. Dari kasus si kaya dan si miskin telah tampak jelas bahwa, yang kaya, terhormat dan memiliki jabatanlah yang berkuasa, sedangkan yang tidak punya mau tidak mau harus mengikuti keputusan yang ada. Namun sejatinya, “Hakim kini dinilain terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum”. (Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto).



[2]  http://tekno.kompas.com/read/2011/02/25/23510166/ICW.Vonis.Korupsi.Rata-rata.2.Tahun