Minggu, 08 November 2015

Tugas Sosiologi Hukum (Analisis Paradigma Perubahan Sosial dan Paradigma Perubahan Hukum (UU Pornografi)




Oleh, Lilatul Fitria


Seorang anak mengikuti aksi menentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Melihat maraknya kasus kekerasan seksual akibat pornografi yang terjadi, Elly Risman, psikolog yang juga pendiri yayasan Kita dan Buah Hati menuntut pemerintah untuk segera bertindak. Ia berharap agar presiden Joko Widodo memulai revolusi mental dari sini, dari bencana kekinian yang dihadapi anak sebagai dampak negatif teknologi media. “Pemerintah, presiden dan wakil presiden harus mendorong Departemen Kesehatan (Depkes) untuk melakukan penelitian bahwa pornografi itu merusak otak,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (9/2). Jika benar-benar terbukti bahwa pornografi merusak otak, kata Elly Risman, maka depkes harus mengakui bahwa pornografi adalah penyakit. Dengan begitu konsekuensi yang harus dilakukan adalah semua kejahatan seksual baik suka sama suka maupun tidak, membutuhkan terapi. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Emon kepada puluhan anak- anak. Semuanya harus diterapi termasuk para korban juga keluarga korban. Namun sayangnya Indonesia tidak memiliki rumah sakit yang menangani pornografi dan kasus seksual seperti menangani kasus narkoba. “Indonesia tidak punya terapis khusus untuk menangani kasus kekerasan seks pada anak-anak, lalu kalau anak itu diterapi dimana tempatnya, tenaga terapinya darimana, biayanya darimana, ya dari BPJS lahh,” keluhnya. Padahal, menurutnya, kasus ini terjadi begitu banyak, anak anak tersebut akan terus melakukan aktivitas seksual, dan pada usia remaja akan terpapar HIV. “Pemerintah tidak punya uang untuk menangani HIV pada anak yang bertabur di 9000 pulau. Berarti depkes harus menyiapkan tenaga terapis,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menuntut agar Departemen Pendidikan dan Menkumham untuk mengambil tindakan. Kekerasan seksual banyak dilakukan oleh pengajar, tetapi Elly menilai bahwa Diknas belum melakukan apapun terhadap masalah tersebut. Sementara penegakan hukum oleh Menkumham juga dirasa kurang. “Menhukham harus menerapkan UU, atau memperkuat pemberlakuan UU pornografi,” jelasnya. Belakangan, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa dengan tegas menyatakan bahwa saat ini Indonesia dalam kondisi darurat pornografi karena biaya untuk belanja pornografi yang diperkirakan mencapai Rp 50 triliun sepanjang tahun 2014. Angka itu bahkan disamakan dengan total belanja narkoba.[1]
Ø  Undang-Undang Pornografi
(sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi.[2]



Analisis kasus
A.      Perubahan Sosial
Banyaknya kasus pornografi menimbulkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat terutama bagi para orang tua yang anaknya mulai menginjak usia remaja, yang dimana mereka telah mulai mengenal dunia luar dengan mudahnya hanya dengan sekali akses lewat internet. Dalam kasus ini, memberi dampak yang sangat nyata bagi masyarakat. Yang mana pola perilaku masyarakat perlahan namun pasti telah mengalami perubahan sosial, generasi muda pada saat ini memiliki banyak cara untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, mereka cenderung menggunakan metode coba-coba. Jika kurang berhati-hati, penggunaan metode ini sangat merugikan, karena yang di coba belum tentu sesuatu yang baik.
Hal ini juga terjadi pada saat budaya barat masuk kedalam kehidupan remaja. Sebagai sesuatu yang asing dan baru, budaya ini menarik perhatian mereka. Sebagai contoh, ketika berkembang system belajar yang menyenangkan atau disebut Quantum Learning, remaja cenderung mencoba hal tersebut. Namun hal ini tidak terbatas hanya pada budaya yang bersifat positif, tapi juga pada budaya negatif. Misalnya, ketika berkembang budaya “clubbing” di kota-kota besar, sebagian besar remaja marasa tertarik untuk mencoba, sehingga ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan itu terus dilakukan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari peran keluarga dalam membimbing remaja dalam menjalani masa yang sangat sulit ini. peran keluarga ini akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.[3]
      Berdasarkan contoh diatas telah tampak jelas bahwa, perubahan sosial bisa terjadi karena adanya dua faktor, yaitu:
a)      Faktor Internal         : Penemuan Baru,
b)     Faktor Eksternal       : Pengaruh Budaya Lain.
B.      Perubahan Hukum
Banyak terjadi pro dan kontra mengenai undang-undang ponografi, seperti yang sudah terjabarkan di atas tidak sedikit pihak yang kontra terhadap undang-undang pornografi ini. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam kebijakan hukum pidana, sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi. Contohnya saja pada bab II pasal 6, dan pasal 8, terdapat kata-kata yang bermakna ambigu.
      Jadi mendefinisikan atau tidak mendefinisikan adalah pilihan politik dari pembuat undang-undang. Apabila sulit didefinisikan atau setelah didefinisikan justru menimbulkan polemik dan multitafsir, mungkin lebih baik jangan didefinisikan. Namun orang akan bertanya, bagaimana mungkin akan mengatur sesuatu, tetapi tidak ada kejelasan tentang apa yang diatur. Sebenarnya, apabila mengalami kesulitan dalam mendefinisikan pornografi, maka lebih baik jangan didefinisikan, tetapi cukup dengan mengatur secara eksplisit bentuk-bentuk perbuatan pornografi dalam pasal-pasal ketentuan pidananya.. Karena pasal-pasal pidana inilah yang lebih bersifat fungsional dan mengandung unsur-unsur tindak pidana yang digunakan untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana pornografi atau tidak. Sementara pemberian definisi pornografi dalam ketentuan umum hanya bersifat memberikan penjelasan. Hal inilah yang dilakukan oleh pembuat UU Tindak pidana korupsi, dimana tidak mendefinisikan korupsi, namun langsung mengaturnya dalam rumusan pasal ketentuan pidana.
C.      Paradigma yang Terkandung
      Berdasarkan uraian diatas maka, paradigma yang terkandung adalah paradigma hukum sebagai alat untuk penegak yang dimana, hukum bukan sebagai pelayan masyarakat agar tidak ketinggalan laju perubahan masyarakat. Ini merupakan paradigma yang kedua karena, pemerintah atas inisiatif sendiri untuk membuat Rancangan Undang-Undang hingga menjadi Undang-undang Pornografi. Yang mana pemerintah berusaha melihat segala kemungkinan kedepannya baik dari aspek positif maupun negative. Sengga disusunlah Undang-undang ini untuk masa depan.    


[1] Psikolog: Efek Pornografi, Kasus Kekerasan Seksual Meningkat, Nasional, http://www.umm.ac.id/id/nasional-umm-5180-psikolog-efek-pornografi-kasus-kekerasan-seksual-meningkat.html
[2] Undang-undang Pornografi, Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.m.wikipedia.org/wiki/RUU_APP
[3] Cara Mengatasi Pornoaksi, Pornografi, dan Pengaruh Budaya Asing,  https://bisnisbook.wordpress.com/2011/01/02/cara-mengatasi-pornoaksi-pornografi-dan-pengaruh-budaya-asing/