Rabu, 18 Mei 2016

ANALISIS KASUS KREDIT MACET

Kredit Macet

Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[1]
Kredit macet adalah suatu keadan dimana seseorang nasabah tidak mampu mebayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.[2]
Suatu kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah ialah kredit yang tergolong sebagi kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia Internasional. Istilah dalam bahasa Inggris yang biasa dipakai juga bagi istilah kredit bermasalah Nonperforming Loan.[3]
Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur. (Siamat, 1993, hal: 220).[4]
Studi kasus
Salah satu contoh dari kredit macet adalah kasus seseorang yang dulunya merupakan seorang guru di suatu sekolah tingkat SMA atau sederajat, orang tersebut mulai merintis usaha diluar itu dengan membuka usaha jasa foto copy, rental dan lain-lain. Orang tersebut sudah merintis usahannya dengan modal awal dari dirinya sendiri, dengan berjalannya waktu usahanya mengalami pasang surut dan untuk mengembangkan usahannya ia memutuskan untuk meminjam pada pihak bank tepatnya di BRI Cabang Ngadiluwih-Kediri, ia meminjam sebesar 12.000.000, dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh Bank. Pada Angsuran 1-10 ia membayar dengan tepat waktu dan sesuai dengan kewajibannya, namun pada angsuran ke 11 ia mulai terlambat membayar Angsuran dan bukan hanya itu ia pun sudah mulai sulit untuk dihubungi dan saat petugas Bank mendatangi rumahnya ia selalu tiba-tiba menghilang entah kemana, sehingga saat petugas Bank datang kerumahnya seringkali hanya mendapati Ibu atau pun adiknya saja. Ketika ia dapat ditemui ia mencari-cari berbagai alasan.

Analisis
            Berdasarkan kasus diatas maka dapat kita ketehui bahwa,  sejatinya kredit macet bukan hanya merugikan salah satu pihak saja namun kedua belah pihak. Karena dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Resiko yang dimaksud adalah kemungkinan kredit itu tidak dapat dibayar kembali oleh debiturnya,[5] sehingga mengakibatkan dana pada Bank berkurang dan kegitan usaha Bank terpengaruhi atau terbengkalai. Bank yang tidak sehat akan mengalami kesulitan dalam memberi layanan kepada nasabah yang lain. Sedangkan kerugian bagi nasabah yaitu ketika nasabah mengalami kredit macet, beban kewajiban yang ditanggung peminjam terhadap Bank justru lebih bertambah, karena selama si peminjam belum melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutangnnya perhitungan bunga tetap berjalan.  
            Jika dikaitkan dengan hukum perdata maka pihak debitur telah melakukan wanpestasi, karena kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika melakukan perjanjian dengan pihak Bank tidak lagi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan penuturan dari narasumber, ia mengatakan bahwa.
Pihak Bank sebenarnya tidak semata-mata langsung memperkarakannya di pengadilan, namun memberi kesempatan lagi dengan melakukan perundingan kembali antara pihak Bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitur”.
Perundingan tersebut berupa pengajuan barang agunan oleh pihak debitur, dimana jika pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya kembali pihak Bank boleh melelang barang agunan, namun jika dari pelelangan tersebut masih terdapat uang sisa dari penutupan hutangnya maka pihak Bank harus mengembalikan pada pihak debitur dan masalahpun terselsaikan. Walau bagaimana pun pihak Bank tetap harus memperhatikan hak dan kedudukan debitur yang terdapat dalam UUHT, ketika barang agunan di eksekusi.
Dalam kegiatan perkreditan terlibat beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) kepentingan para pihak tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian hukumnya. Namun berbeda halnya andaikata, si peminjam tidak memberi agunan dan tetap saja melarikan diri, maka pihak Bank dapat menyelsaikannya melalui Lembaga Hukum.
Dari masalah di atas maka dapat kita ketahui bahwa terjadinnya kredit macet juga disebabkan karena kurang diperhatikannya prinsip-prinsip Bank pada Bank itu sendiri, seperti halnya asas kehati-hatian.
Asas mengenai kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.
Paling tidak sebelum menyepakati suatu perjanjian dengan nasabah pihak Bank yakin mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur, agar kasus kredit macet dapat diminimalisir.
Berkenaan dengan kasus diatas, sebenarnya jika dikaitkan dengan ketentuan BMPK pihak Bank tidak melakukan kesalahan pada zona tersebut, karena Bank akan dikatakan telah melanggar ketentuan BMPK apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK tersebut, selain dapat dikenakan sanksi, Bank juga akan diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan Bank.[6] Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan peraturan Bank Indonesia No. 8/13/PBI/2006.
Berbeda halnya dengan kasus Bapindo, dimana pihak Bank memberi kredit pada nasabah terlalu besar dan tidak sebanding dengan aset modal yang dimiliki oleh Bapindo. Bahkan dalam penyalurannya pun telah melampaui jumlah BMPK, dan penyaluranya tidak sesuai dengan prosedur (Rachmadi Usman, 2001:254).
Pada kasus ini, terjadinya kredit macet karena adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurangnya pengalaman dalam bidang usaha yang ia tangani, sehingga mengakibatkan minimnya laba yang diperoleh yang berimbas pula pada kewajibannya untuk mengangsur pada pihak Bank pada tiap  bulannya menjadi tersendat.
Asas-asas yang ada pada Bank merupakan salah satu acuan yang benar-benar harus diperhatikan oleh pihak Bank itu sendiri, salah satunya untuk mencegah terjadinya masalah-masalah seperti ini terulang kembali.
Moral Value

Pada era saat ini, tidak bisa dipungkiri mengenai ketergantungan masyarakat terhadap lembaga yang namanya Bank. Dimana Bank merupakan salah satu penolong yang dirasa siap sedia untuk memberi pinjaman sebagai penolong keterpurukan perekonomiannya.
Namun, yang harus diingat adalah yang namannya lembaga pasti memilik aturan-aturan dan asas-asas yang telah ditentukan, yang mana ke duannya memiliki maksud dan tujuan. Jika kedua unsur tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Terjadinya kesalahan sangatlah minim. Sama halnya dengan pihak debitur, tingkat kemampuan seseorang sangatlah berbeda-beda. Kalau seseorang memaksakan sesuatu yang dibatas kemampuannya, tak urung justru akan mempersulit dirinya sendiri.
 Bukan hanya mengenai Hak dan Kewajiban, yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak namun kehati-hatian dan petimbangan yang matang merupakan perkara yang seringkali turut serta mempengaruhi atau bahkan merubah hidup seseorang. Namun, jika seseorang memperhatikan serta menerapkan aturan hukum yang ada, sekalipun itu hal yang dianggap ringan justru seringkali menyelamatkan atau bahkan menjauhkan seseorang dari persengketaan. Dengan demikian, antara pihak Bank dan nasabah bisa berjalan beriringan.




[1]. Dewi Febry, Kasus Kredit Macet BRI Cabang Jambi, http://dewifebry.blogspot.co.id/2015/04/kasus-kredit-macet-bri-cabang-jambi.html, di unduh tanggal 14 Mei 2016 pukul 20.42
[2]. Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Penerbit Djambatan, Jakarta 1997, hal. 131
[3]. Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Segi Hukum Perbankan, ISBN 979-8458-02-08, diterbitkan oleh Istitut Bankir Indonesia), Jakarta, 1993, hal. 3
[4]. Dewi Febry, Kasus Kredit Macet BRI Cabang Jambi,...
[5]. Djoni S. Ghozali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 291.
[6].  Djoni S. Ghozali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 295.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar