Kredit Macet
Dalam UU Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[1]
Kredit macet adalah suatu keadan dimana seseorang nasabah
tidak mampu mebayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.[2]
Suatu kredit digolongkan
sebagai kredit bermasalah ialah kredit yang tergolong sebagi kredit kurang
lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah
digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan yang
merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia Internasional. Istilah
dalam bahasa Inggris yang biasa dipakai juga bagi istilah kredit bermasalah Nonperforming Loan.[3]
Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang
mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur
kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur. (Siamat, 1993, hal:
220).[4]
Studi kasus
Salah satu contoh dari
kredit macet adalah kasus seseorang yang dulunya merupakan seorang guru di
suatu sekolah tingkat SMA atau sederajat, orang tersebut mulai merintis usaha
diluar itu dengan membuka usaha jasa foto copy, rental dan lain-lain. Orang
tersebut sudah merintis usahannya dengan modal awal dari dirinya sendiri,
dengan berjalannya waktu usahanya mengalami pasang surut dan untuk mengembangkan
usahannya ia memutuskan untuk meminjam pada pihak bank tepatnya di BRI Cabang
Ngadiluwih-Kediri, ia meminjam sebesar 12.000.000, dengan jangka waktu yang
telah ditentukan oleh Bank. Pada Angsuran 1-10 ia membayar dengan tepat waktu
dan sesuai dengan kewajibannya, namun pada angsuran ke 11 ia mulai terlambat
membayar Angsuran dan bukan hanya itu ia pun sudah mulai sulit untuk dihubungi
dan saat petugas Bank mendatangi rumahnya ia selalu tiba-tiba menghilang entah
kemana, sehingga saat petugas Bank datang kerumahnya seringkali hanya mendapati
Ibu atau pun adiknya saja. Ketika ia dapat ditemui ia mencari-cari berbagai
alasan.
Analisis
Berdasarkan kasus diatas maka dapat
kita ketehui bahwa, sejatinya kredit
macet bukan hanya merugikan salah satu pihak saja namun kedua belah pihak. Karena
dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil
resiko sekecil mungkin”. Resiko yang dimaksud adalah kemungkinan kredit itu
tidak dapat dibayar kembali oleh debiturnya,[5] sehingga mengakibatkan dana pada Bank berkurang dan kegitan usaha
Bank terpengaruhi atau terbengkalai. Bank yang tidak sehat akan mengalami
kesulitan dalam memberi layanan kepada nasabah yang lain. Sedangkan kerugian
bagi nasabah yaitu ketika nasabah mengalami kredit macet, beban kewajiban yang
ditanggung peminjam terhadap Bank justru lebih bertambah, karena selama si peminjam
belum melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutangnnya perhitungan bunga
tetap berjalan.
Jika dikaitkan
dengan hukum perdata maka pihak debitur telah melakukan wanpestasi, karena
kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika melakukan perjanjian dengan pihak
Bank tidak lagi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan penuturan dari narasumber,
ia mengatakan bahwa.
“Pihak Bank sebenarnya tidak semata-mata langsung
memperkarakannya di pengadilan, namun memberi kesempatan lagi dengan melakukan perundingan kembali antara
pihak Bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitur”.
Perundingan
tersebut berupa pengajuan barang agunan oleh pihak debitur, dimana jika pihak
debitur tidak melaksanakan kewajibannya kembali pihak Bank boleh melelang
barang agunan, namun jika dari pelelangan tersebut masih terdapat uang sisa
dari penutupan hutangnya maka pihak Bank harus mengembalikan pada pihak debitur
dan masalahpun terselsaikan. Walau bagaimana pun pihak Bank tetap harus
memperhatikan hak dan kedudukan debitur yang terdapat dalam UUHT, ketika barang
agunan di eksekusi.
Dalam kegiatan
perkreditan terlibat beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak
yang terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) kepentingan para pihak tersebut
diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian
hukumnya. Namun berbeda halnya andaikata, si peminjam tidak memberi agunan dan
tetap saja melarikan diri, maka pihak Bank dapat menyelsaikannya melalui
Lembaga Hukum.
Dari masalah
di atas maka dapat kita ketahui bahwa terjadinnya kredit macet juga disebabkan
karena kurang diperhatikannya prinsip-prinsip Bank pada Bank itu sendiri,
seperti halnya asas kehati-hatian.
Asas mengenai kehati-hatian tertera dalam Pasal 2
dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Prinsip kehati-hatian adalah suatu
prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat
berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu
dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan
dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.
Paling tidak sebelum menyepakati suatu perjanjian dengan nasabah
pihak Bank yakin mengenai kesanggupan, kemampuan, dan kemauan debitur untuk
melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha debitur, agar kasus kredit macet dapat diminimalisir.
Berkenaan dengan kasus diatas, sebenarnya jika dikaitkan dengan ketentuan
BMPK pihak Bank tidak melakukan kesalahan pada zona tersebut, karena Bank akan
dikatakan telah melanggar ketentuan BMPK apabila pada saat pemberiannya saldo
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut melampaui batas
maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran terhadap
ketentuan BMPK tersebut, selain dapat dikenakan sanksi, Bank juga akan
diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan Bank.[6] Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 7/3/PBI/2005tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan peraturan Bank Indonesia No. 8/13/PBI/2006.
Berbeda halnya dengan kasus Bapindo, dimana pihak Bank memberi
kredit pada nasabah terlalu besar dan tidak sebanding dengan aset modal yang
dimiliki oleh Bapindo. Bahkan dalam penyalurannya pun telah melampaui jumlah
BMPK, dan penyaluranya tidak sesuai dengan prosedur (Rachmadi Usman, 2001:254).
Pada kasus ini,
terjadinya kredit macet karena adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis
perusahaan, atau karena kurangnya pengalaman dalam bidang usaha yang ia tangani,
sehingga mengakibatkan minimnya laba yang diperoleh yang berimbas pula pada
kewajibannya untuk mengangsur pada pihak Bank pada tiap bulannya menjadi tersendat.
Asas-asas yang ada pada Bank merupakan salah satu acuan yang benar-benar harus
diperhatikan oleh pihak Bank itu sendiri, salah satunya untuk mencegah
terjadinya masalah-masalah seperti ini terulang kembali.
Moral Value
Pada era saat ini, tidak bisa dipungkiri mengenai ketergantungan masyarakat terhadap lembaga yang namanya Bank. Dimana Bank merupakan salah satu penolong yang dirasa siap sedia untuk memberi pinjaman sebagai penolong keterpurukan perekonomiannya.
Namun, yang
harus diingat adalah yang namannya lembaga pasti memilik aturan-aturan dan asas-asas yang telah ditentukan, yang mana ke duannya memiliki maksud dan
tujuan. Jika kedua unsur tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar.
Terjadinya kesalahan sangatlah minim. Sama halnya dengan pihak debitur, tingkat
kemampuan seseorang sangatlah berbeda-beda. Kalau seseorang memaksakan sesuatu
yang dibatas kemampuannya, tak urung justru akan mempersulit dirinya sendiri.
Bukan hanya mengenai Hak dan Kewajiban, yang
perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak namun kehati-hatian dan petimbangan
yang matang merupakan perkara yang seringkali turut serta mempengaruhi atau bahkan
merubah hidup seseorang. Namun, jika seseorang memperhatikan serta menerapkan
aturan hukum yang ada, sekalipun itu hal yang dianggap ringan justru seringkali
menyelamatkan atau bahkan menjauhkan seseorang dari persengketaan. Dengan
demikian, antara pihak Bank dan nasabah bisa berjalan beriringan.
[1]. Dewi Febry, Kasus
Kredit Macet BRI Cabang Jambi, http://dewifebry.blogspot.co.id/2015/04/kasus-kredit-macet-bri-cabang-jambi.html, di unduh tanggal 14 Mei 2016 pukul 20.42
[2]. Gatot
Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis,
Penerbit Djambatan, Jakarta 1997, hal. 131
[3]. Sutan Remi
Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Segi Hukum Perbankan, ISBN
979-8458-02-08, diterbitkan oleh Istitut Bankir Indonesia), Jakarta, 1993,
hal. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar